top of page
Gambar penulisKevin Moningka

Sayang Kakak Sayang Adik

Diperbarui: 1 Apr 2019

"Animal Rationale. Jika aristoteles menyebut manusia sebagai hewan yang berpikir, lalu mungkinkah jika saya menyebut manusia yang tidak berpikir sebagai hewan?"

Dunia perkuliahan merupakan salah satu kehidupan yang baru bagi mahasiswa baru atau biasa disebut dengan “maba”. Bagi para maba, senior itu merupakan “tuan tanah” sekaligus “motivator” dalam dunia kampus. Dan bagi para senior, maba itu adalah sekelompok orang “awam” atau ibarat dalam kegiatan seminar, maba adalah para “peserta” seminar yang datang dalam keadaan kosong dan harus pulang dengan keadaan berisi.

Pada masa Orientasi Studi dan Perkenalan Kampus (OSPEK), para mahasiswa baru akan duduk berjejeran di bawah panggung “pertunjukan” dan menghadap kepada sekelompok senior yang berdiri gagah di hadapan para maba sambil memperkenalkan diri mereka serta menyampaikan apa-apa yang harus dilakukan maba dalam dunia perkuliahan.

Pada masa orientasi ini, ada beberapa senior yang mungkin telah lama “sendiri” mengambil kesempatan dalam keluasan untuk memilah dan memilih para gadis maba yang akan didekati. Para senior ini sangat tampak dilihat karena mereka biasanya akan berdiri di samping teman-temannya yang sedang berbicara di panggung sambil melirik gadis-gadis maba.

Ciri lain dari senior seperti ini juga terlihat ketika mereka sedang “marah”, mereka bernada keras tapi sedikit menyelipkan kata-kata magic agar terlihat menawan di mata para gadis maba.

Memang, dalam dunia perkuliahan, banyak sekali fenomena yang bisa dilihat, salah satunya fenomena di atas. Namun dari berbagai fenomena yang ada, saya tertarik dengan salah satu fenomena yang membuat saya berpikir keras untuk diterapkan, yaitu tentang Pasal Senior yang sering dikumandangkan pada masa orientasi. Pasal senior kurang lebih seperti ini (1. Senior tidak pernah salah, 2. Junior selalu salah, 3. Jika senior salah, kembali ke pasal 1).

Fenomena ini berhasil membuat saya berpikir keras karena semakin saya memikirkannya, semakin banyak pula pertanyaan yang muncul di benak saya. Siapa yang membuat pasal seperti ini? Apa yang mendasarinya untuk membuat pasal ini? Apakah senior dalam kampus sudah bukan manusia? Karena menurut saya tidak ada manusia yang selama hidupnya selalu benar, ada keadaan di mana manusia pasti berbuat salah.

Sebelumnya saya memang sempat berpikiran baik tentang pasal ini. Karena saya pikir maksud dari pasal ini adalah untuk membuat junior bisa lebih paham tentang arti dari kesopanan. Tapi setelah saya melihat praktik di lapangan, sepertinya para senior yang seharusnya lebih berpengalaman telah salah dalam mengimplementasi pasal ini dan memanfaatkan pasal ini ke hal-hal yang lain.

Maka dari itu saya kurang setuju dengan pasal senior ini. Karena menurut saya makna dari pasal ini sangat ambigu. Jika memang senior ingin adik-adiknya memiliki perilaku yang baik, mereka seharusnya lebih ke mencontohkan daripada mengkumandangkan pasal-pasal yang ambigu ini.

Sangat banyak cara untuk membuat seseorang berperilaku baik. Ada buku-buku tentang pengembangan diri dan materi-materi tentang norma di internet yang bisa dibaca. Atau mungkin sebagian dari para senior ini terlalu lama bertapa di hutan-hutan atau goa sehingga mereka terbiasa dengan hukum rimba dan lupa jika sekarang ini banyak metode-metode yang bisa digunakan dalam hal pengembangan diri.

Dalam ilmu kefilsafatan, ada yang namanya Aksiologi. Menurut Langveld, aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan filsafat nilai dan penilaian tentang perilaku orang dari sudut benar dan salah. Estetika merupakan filsafat nilai dan penilaian tentang karya manusia dari sudut baik dan buruk.

Inti dari aksiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tata nilai dalam berkehidupan dari sudut pandang benar/salah dan baik/buruk. Dari arti ini, dapat kita pahami bahwa aksiologi mengajarkan kita tentang bagamaina cara mengimplementasikan serta memposisikan keilmuan yang kita miliki dalam berkehidupan agar bisa bermanfaat untuk kita dan masyarakat di sekitar kita.

Dalam pandangan Islam, hakikat dari manusia yaitu memiliki sifat baik (hanif) yang merupakan manifestasi dari Allah SWT. Sifat hanif ini yang menjadi dasar tata nilai dalam menjalani kehidupan bagi umat manusia. Dalam berkehidupan yang didasari dengan sifat hanif, manusia bisa membangun keharmonisan dalam bersosial dan juga nilai etika serta estetika akan dengan sendirinya terlaksana.

Dari penjelasan di atas, saya pikir budaya “senioritas” dalam kampus perlu diganti dengan budaya saling menghargai antara sang kakak dan sang adik. Karena dalam membangun kedekatan antara kakak dan adik, hanya perlu didasari dengan sifat hanifdi antara keduanya.

Kemudian dalam hal saling menghargai, sebab akibat dan timbal balik juga merupakan sebagian dari perkara yang ada. Bagaimana sang adik bisa menghargai sang kakak jika sang kakak tidak mau menghargai sang adik?

Mengutip dari Socrates, gnothi seauthon yang artinya kenalilah dirimu sendiri. Kalimat ini seolah-olah memiliki kekuatan sakral yang mampu membimbing manusia ke dalam renungan-renungan suci tentang dirinya sendiri agar bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kita.

13 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page